Oleh : KH Taufik Hidayat, S.Ag, M.I, Kom
Menukil Kitab
Mastnawi karya Jalaluddin Rumi, seorang penyair
sufi yang lahir di Balkh pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 Hijriah. Kitab
Matsnawi sering disebut juga sebagai insan
nameh atau buku tentang perilaku manusia.
Melalui syair-syair
kolosalnya, Rumi memperkenalkan banyak tokoh yang mewakili berbagai karakter
manusia. Syair-syair Matsnawi syarat
pembelajaran tentang asal-usul dan hakikat manusia, perjalanannya, hingga
berbagai potensi yang ada dalam diri manusia. Diantara kisah yang ditulis Rumi
dalam Matsnawi, tentang perilaku Muadzin (seorang yang azdan di masjid atau
mushola).
Suatu ketika, seorang
Muadzin ini demikian semangatnya ingin mengumandangkan adzan di tengah ramainya
teman-teman lain berada di sekitarnya. Tapi, sejumlah teman tiba-tiba
melarangnya.
“Sudahlah,
tidak usah kau adzan, suaramu itu jelek,”
ujar teman si Muadzin tak setuju, karena mengetahui suara Muadzin ini
tidak bagus.
“Iya.
Kalau kamu adzan, nanti orang bukan tertarik beribadah. Jangan-jangan kamu akan
kena marah, karena suaramu jelek,” ujar yang lainnya yang juga tidak setuju.
Tapi,
dengan penuh percaya diri si Muadzin tetap bersikeras mengumandang adzan. Tak
peduli saran dan ejekan teman-temannya. Tanpa mengindahkan lagi sikap keberatan
dari orang sekitar, si Muadzin seketika dengan lantang mengundangkan adzan.
Maka terdengarlah suara adzan yang nada
dan suaranya jelek.
Usai
adzan, tiba-tiba ada seorang Pasteur mendatangi kaum muslimin yang sedang
berkerumun itu. Setelah mendekati mereka, lantas Pasteur ini bertanya;
“Mohon
maaf, bolehkah saya bertemu dengan orang yang adzan tadi?” Pasteur minta izin
kepada kaum muslimn yang sedang berada di situ. Mereka saling pandangan heran.
“Kenapa
Pastuer ingin bertemu dengan Muadzin?” tanya teman Muadzin agak curiga.
Tak
lama dari itu, tiba-tiba si Muadzin muncul.
“Nah, ini orang yang
adzan tadi,” ujar teman lainnya, sembari menunjuk ke Muadzin.
“Benarkah
Anda yang tadi mengumandang adzan tadi?” tanya Pasteur memastikan.
“Benar,
saya orangnya?” kata Muadzin dengan bangga. “Memang ada apa?” tanya Muadzin
tanpa beban. Sementara teman lainnya hanya mengeryitkan kening. Bingung.
“Adzan
yang Anda kumandangkan tadi, untuk apa?” tanya Pasteur yang tidak mengetahui
perihal Adzan dalam Islam.
“Itu
adalah suara Adzan, panggilan shalat untuk kaum muslimin, Pasteur!” ujar yang
lain menjelaskan. Pasteur manggut-manggut.
“O.
Iya. Kalau begitu terima kasih. Saya akan memberi hadiah kepada Bapak Muadzin,”
ujar Pasteur yang membuat terkejut orang-orang yang hadir.
“Kenapa
Pasteur akan memberi hadiah kepada Muadzin?” tanya lainnya lagi. Mereka heran
dengan Pastetur. Sebab suara adzannya jelek, tetapi justreu Pasteur ingin
memberi hadiah kepada Muadzin. Kali itu si Muadzin juga begong keheranan.
“Kalau
pun saya punya lebih banyak harta, mungkin saya akan memberi hadiah lebih dari
ini,” ujar Pasteur sembari menyerahkan hadiah kepada si Muadzin.
“Tapi
kenapa Pasteur memberi hadiah pada saya?” tanya Muadzin penasaran.
“Saya
punya anak gadis cantik. Awalnya ingin masuk Islam, tapi mendengar suara adzan
Anda tadi, saya jadi membatalkannya masuk Islam,” ujar Pasteur, yang kemudian
permisi dan berlalu dari hadapan Muadzin dan kaum muslimin di tempat itu.
**
Kisah
yang ditulis Rumi diatas, tentu sarat makna dan pesan. Bukan untuk memojokkan
kaum satu dan lainnya, atau merendahkan kaum muslimin atau Pasteur. Tetapi
lebih penting dari itu, yang mesti kita catat adalah bagaimana kita harus
mengemas pesan kebaikan dengan cara yang baik pula. Dalam sebuah hadits disebut
: Innallaha
jamilun yuhibbul jamal (Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai
keindahan).
Kata
Indah sangat multi makna. Bisa berarti lovely
(indah, cantik, bagus, menarik, elok, jelita). Picturesque (indah, menarik, permai, sangat indah, unik, yang
mengasyikkan). Beautiful (indah,
cantik, bagus, elok, ayu, jeli). Magnificent
(indah, agung, sangat bagus, kelihatan penting). Fine (halus, bagus, indah, tipis, cerah, sangat baik). Fancy (indah, fantastis, ajaib, bermutu
tinggi). Precious (berharga, mulia, indah, murni, agung). Elegant
(anggun, indah, elok, luwes, cantik,
perlente). Sublime (sublim, agung,
indah, maha, tertinggi, mahamulia).
Deretan
pemaknaan kata indah itu, bila kita hubungkan dengan si Muadzin dalam kisah
Rumi, sudah tentu ada satu catatan kecil yang berakibat fatal, sebagai efek
pesan kebaikan yang tidak disampaikan dengan cara dan bahasa yang baik oleh si
Muadzin.
Tanpa bermaksud
menuduh pihak manapun, dalam keseharian sering kali kita melihat pesan kebaikan
itu yang disampaikan dengan cara yang tidak baik. Akibatnya, bukan membuat
orang simpati tetapi berbaik menjadi antipati. Termasuk kaum muslimin sendiri.
Bukan mendekat tetapi sebaliknya kian menjauh. Bukan dalam arti menjauhi Islam,
tetapi tidak lagi ada keinginan untuk berdekatan dengan orang yang menyampaikan
pesan kebaikan itu dengan cara yang tidak arif dan bijak, sebagaimana si
Muadzin tadi.
Kita sering melihat,
betapa kata “Allahu Akbar” yang sejatinya harus diucapkan dengan penuh
kerendah-hatian, dengan ke-khusyukan dan kehambaan diri di hapadan Allah Swt,
tetapi ketika disuarakan dengan nada tinggi dan dibahasakan dengan gestur tubuh
yang kasar, maka sudah barang tentu, kalimat “Allahu Akbar” nilai, pesan dan
kesannya akan berubah. Kalimat agung itu di mata publik akan identik dengan
rasa amarah dan dendam.
Sebab, bila
diumpamakan kita ini kenek bis atau mobil, kita tidak akan bisa menarik
simpatik calon penumpang, bila cara dan bahasa kita mengajak calon penumpang
dengan kasar, penuh amarah dan dendam.
Tentu calon
penumpang, bukan akan mendekat tetapi sebaliknya akan menjauh. Cara santun,
lemah lembut dan indah adalah bahasa yang diajarkan Allah Swt, ketika kita
hendak menyampaikan pesan kebaikan, melalui firman-Nya :
Fabimaa rahmatin minallahi linta lahum walau kunta
fazh-zhan ghaliizhal qalbi laanfadh-dhuu min haulika faa’fu ‘anhum waastaghfir
lahum wasyaawirhum fiil amri fa-idzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallahi innallaha
yuhibbul mutawakkiliin.
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Qs. 3 ; 159).
Kita belajar dari
Rumi, betapa kemasan pesan kebaikan tetap saja harus dilakukan dan disampaikan
dengan cara dan bahasa lemah lembut yang baik. Sehingga, perwujudan Islam rahmatan lil ‘alalamiin (rahmat bagi
sekalian alam) : islam sebagai pesan nilai untuk alam ini benar-benar
“membumi”, yang kehadirannya di manapun dan di tengah golongan apapun, tetap
membuat suasana nyaman, damai dan sejuk, bukan malah sebaliknya.
Semoga kita tidak
menjadi si Muadzin yang ceroboh--meskipun yang disuarakan itu kumandang
adzan—panggilaan shalat bagi kaum muslimin dan muslimat.**
Ponpes La
Roiba - Muaraenim, 2021
Revisi : 02 Maret 2025
Keterangan :
Tulisan ini disarikan dari kuliah shubuh KH Taufik
Hidayat, S. Ag, M.I. Kom, (Pendiri dan Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim) di
Masjid Julaibib Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim, Sumsel, Ahad 2 Maret
2025. (Editor Naskah dan Bahasa : Imron supriyadi)

%20(1000%20x%20199%20piksel)_20250405_192603_0000.png)