Selasa, 28 Oktober 2025, Oktober 28, 2025 WIB
Last Updated 2025-11-02T14:36:52Z
Aktor PalembangEntertainmentFilm HororFilm PalembangKebudayaanOim BramsSenimanTeguh SantosoTrending

Oim Ibrams dan “Nyupang”: Dari Palembang ke Layar Horor Nusantara

Poster Film "Nyupang" 




Di balik lampu sorot dan kabut pesisir utara Pekalongan, suara jangkrik menyatu dengan desir angin laut. Rumah joglo tua berdiri diam, seperti menyimpan rahasia masa lalu. 


Di halaman depannya, seorang lelaki berdiri tegak dengan tatapan dalam — Oim Ibrams, aktor asal Palembang yang kini menjajal dunia film nasional lewat karya horor berjudul “Nyupang”.


Film ini disutradarai oleh Teguh Santosa, sineas asal Pekalongan, sekaligus penulis skenario yang menggali mitos lama: tentang manusia yang mencari jalan pintas menuju kekayaan lewat pesugihan. 


Di tangan Teguh, mitos itu dihidupkan kembali dengan nuansa lokal yang kental, atmosfer mistik, dan kritik sosial yang halus. 


“Saya tidak ingin hanya membuat film horor, tapi kisah yang menyindir ambisi manusia modern,” ujar Teguh.


Bersama Teguh, Oim tidak sekadar menjadi aktor. Ia menjadi perpanjangan jiwa film itu sendiri. “Bagi saya, Nyupang itu semacam cermin,” katanya. 


“Setiap orang punya godaan untuk memilih jalan cepat. Di film ini, saya belajar bahwa kejujuran dan usaha keras adalah ritual sejati manusia.”


Antara Joglo, Mistisisme, dan Keluarga Film

Proses syuting Nyupang berlangsung di lokasi-lokasi yang seolah disiapkan semesta: rumah joglo tua di Batang Kalisalak, pantai utara Slamaran Degayu, hingga gang-gang sepi di pinggiran kota Pekalongan. Aura tempat-tempat itu begitu kuat hingga tak jarang para pemain merasa “diperhatikan” oleh sesuatu yang tak kasat mata.


“Saat syuting malam, ada pemain yang tiba-tiba kerasukan,” kenang Oim. “Awalnya kami kira improvisasi, ternyata benar-benar kerasukan.” 


Kru film menghentikan pengambilan gambar sejenak, membaca doa bersama, lalu melanjutkan proses dengan tenang. 


“Buat kami, itu bagian dari perjalanan film. Setiap karya punya energinya sendiri,” tambahnya.


Film ini bukan produksi raksasa dengan modal besar. Namun, semangatnya besar. Para pemain datang dari berbagai daerah — Bandung, Bogor, Cilacap, Depok, Batam, dan tentu saja Palembang. 


Di antara mereka juga ada pemain cilik: Kenya Yuniliani dari Palembang dan Haluma Eliza dari Depok.


Di lokasi, semua setara. Tidak ada bintang utama yang merasa lebih tinggi. “Sistem produksinya kekeluargaan,” kata Teguh. 


“Kami makan bareng, istirahat bareng, doa bareng. Mungkin itu sebabnya film ini terasa hidup — karena lahir dari persaudaraan.”


Dari "Teater Musi" ke Film Nasional


Bagi masyarakat seni Palembang, nama Oim Ibrams bukan asing. Ia lahir dari panggung teater dan aktif di komunitas film independen. Kariernya bukan hasil keberuntungan sesaat, melainkan buah ketekunan panjang di dunia seni peran.


Dalam Nyupang, Oim membuktikan bahwa aktor daerah pun mampu tampil sejajar di layar nasional. 


“Saya ingin mematahkan pandangan bahwa seniman luar Jawa tidak bisa bersaing,” ujarnya dengan mantap. “Palembang itu gudangnya bakat. Kita hanya butuh ruang.”


Oim memandang film sebagai wadah pembelajaran sosial. “Kalau di teater saya belajar memahami manusia lewat dialog, di film saya belajar lewat diam,” ujarnya sambil tersenyum. “Kamera bisa menangkap kejujuran yang bahkan tak terucap.”


Dari Horor ke Refleksi


Meski bergenre horor, Nyupang menyelipkan pesan moral yang tajam: tentang keserakahan, kesabaran, dan nasib manusia modern yang ingin semua serba cepat. 


Di antara kilatan petir dan teriakan ketakutan, film ini menyodorkan renungan — bahwa kejahatan kadang tak datang dari makhluk gaib, tapi dari ambisi yang kehilangan arah.


Oim mengaku, pesan itu menampar dirinya sendiri. “Saya belajar bahwa ‘pesugihan’ itu bukan cuma mitos. Dalam bentuk lain, ia hidup di dunia nyata — saat orang menukar nilai dengan angka, kejujuran dengan hasil instan,” katanya pelan.


Nyupang kini memasuki tahap akhir penyelesaian. Jika kelak tayang di layar bioskop atau platform digital, film ini bukan sekadar tontonan. Ia adalah pernyataan: bahwa dari teater kecil di tepi Sungai Musi, lahir aktor yang siap bicara di panggung nasional.


Seni Sebagai Jalan Pulang

Dalam setiap karya, selalu ada niat untuk kembali — kepada akar budaya, kepada manusia, kepada Tuhan. 


Oim memandang Nyupang bukan hanya proyek film, tapi perjalanan batin. “Saya ingin setiap peran saya membawa manfaat, bukan hanya tepuk tangan,” ucapnya.


Film ini, seperti Palembang itu sendiri, adalah pertemuan antara mistik dan modernitas, antara suara masa lalu dan gema masa kini. Dari tangan Teguh Santosa dan akting Oim Ibrams, Nyupang menjadi simbol kecil tentang bagaimana budaya lokal bisa hidup kembali di layar nasional.


“Horor bukan sekadar takut,” kata Oim di akhir wawancara. “Ia adalah cara kita memahami yang tak terlihat — termasuk ketakutan kita sendiri pada keserakahan dan kehilangan.”


Di ruang sunyi setelah kamera berhenti merekam, Oim menatap langit Pekalongan yang kelam. Dalam senyumnya yang tenang, tersimpan pesan sederhana: bahwa dari Palembang, dari teater dan peluh seni, selalu ada cahaya yang menyala di layar-layar negeri ini. (Imron Supriyadi)





Tag Terpopuler